Handphone masih bertengger di telinga, seperti biasa, melepas rindu dengan yang terkasih di sebrang sana. Beberapa menit pertama diluar ekspektasi. Setelah banyak kesamaan, akhirnya kita menemukan perbedaan malam ini. Beradu argumen menjadi sesuatu yang tak bisa dihindarkan. Tak lama kemudian berbaikan. Kemudian kembali lagi beradu. Masih terbayang dalam benak, ketika kau mengatakan sesuatu hal yang menyangkut privasi, katamu.
Sungguh, aku tak mempermasalahkan itu. Aku tak mempermasalahkan apapun yang kau sembunyikan, apa yang tak ingin kau ceritakan. Aku percaya kamu saja. Urusan nanti bagaimana, biarlah dipikir nanti saja. Kini kita terdiam. Hening beberapa menit. Airmata kemudian keluar tanpa permisi. Dasar cengeng! Kucoba tahan, biar tak ada siapapun yang mendengarnya, termasuk kau. Saking takutnya ketahuan, aku pamit sebentar dan menghapus airmata itu. Pikiranku tak bisa dijabarkan lagi.
Ada begitu banyak hal yang kutahan, tak bisa dirangkai menjadi kata kata. Ada begitu banyak ketakutan yang kucoba lawan sendirian sambil terus meyakinkan diri kalau semua akan baik baik saja. Beberapa menit kemudian kau memutuskan untuk mengakhiri percakapan malam ini. Tak ada embel embel lain, seperti yang sudah sudah. Setelah suaramu menghilang dari pendengaranku, aku terduduk lemas, pandanganku kosong dan mencoba bernapas seperti biasa, walaupun terasa seperti ada yang mencekik leherku. Aku makin kacau. Lagi, menangis lagi. Hanya itu yang kubisa. Tak tau harus mengadu ke siapa, tak tau harus bersandar dimana. Mungkin bersabar adalah pilihan yang tepat, atau mungkin tidak ada pilihan lain.
No comments:
Post a Comment